BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Mengenal dan mempelajari sejarah bagi generasi muda adalah suatu keharusan, karena dengan mengetahui sejarah kita akan tahu bagaimana kondisi riil pada zaman itu, baik pada masa pra-sejarah atau manusia purba maupun pada masa-masa sesudahnya. Sejarah memberi peran yang sangat besar terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena dari sejarah kita dapat belajar banyak, mengetahui peradaban dan kehidupan pada masa lalu. Banyak sekali peninggalan-peninggalan sejarah yang sangat mengagumkan apabila para arkeolog bekerja siang dan malam untuk mengungkap realita sejarah di masa lampau ini.
Berbicara sejarah Indonesia tentunya tidak terlepas dari wilayah-wilayahnya yang ada di seluruh Nusantara, termasuk wilayah kita Kepulauan Riau yang di dalamnya terdapat Pulau Bintan. Pulau Bintan merupakan Pulau terbesar di Kepulauan Riau yang sejak 2004 diresmikan sebagai provinsi ke- 32 di Indonesia. Zaman dahulu, Pulau Bintan merupakan pusat Kerajaan Melayu Riau – Lingga, sehingga banyak ditemukan situs-situs peninggalan kerajaan-kerajaan Melayu di seputaran Pulau Bintan.
Tak hanya itu, ternyata pada tahun 2008, sejarawan Kepulauan Riau, Aswandi Syahri, bersama tim pengumpulan dan penulisan cerita rakyat menemukan situs peninggalan zaman pra-sejarah ini di Pulau Bintan, tepatnya di daerah Kawal Darat, Kabupaten Bintan. Diduga, Bukit Kerang (dikenal dengan Kjokkenmoddinger) yang terdapat di Bumi Tanah Melayu ini adalah sisa kebudayaan Bacson – Hoabin; salah satu cabang kebudayaan yang penting pada zaman Mesolithikum (manusia purba sudah hidup menetap) di Indonesia, yang berkembang pada 3000 – 5000 tahun SM.
Selama ini, baik di buku pelajaran, internet, maupun sumber lainnya, Kjokkenmoddinger disebut-sebut hanya terdapat di pulau Jawa, dan pesisir pulau Sumatera saja. Tetapi, kenyataan menunjukkan bahwa peninggalan pra-sejarah yang dikenal sebagai “Kebudayaan Sumatera” ini juga pernah berkembang di daerah Pulau Bintan, Kepulauan Riau.
Adapun Bukit Kerang yang penulis maksud sebagai salah satu warisan dari “Kebudayaan Sumatra” tersebut. Namun keadaan Bukit Kerang di Pulau Bintan saat ini dapat dikatakan memprihatinkan, dilihat dari tingginya yang semakin lama semakin menurun yaitu dari 6 meter pada pengkuran pertama tahun 2009, dan pada tahun 2010, tingginya sudah hampir menjadi 5 meter. Hal ini diduga kuat akibat dari abrasi tanah, karena letaknya yang hanya ±500 m dari sungai Kawal. Selain itu, penelitiannya yang dua tahun ke belakang ini selalu rutin dilakukan tiap awal tahun, untuk periode tahun 2011 ini tertunda hingga pertengahan atau bahkan akhir tahun (sekitar Juli – Oktober). Sebenarnya, terdapat tiga buah Bukit Kerang di daerah Kawal Darat. Tetapi, dua lainnya sekarang sudah rata dengan tanah, dan telah dijadikan perkebunan Sawit oleh warga sekitar.
Oleh karena itu, penulis ingin mengenalkan daerah Kepulauan Riau, khususnya Pulau Bintan, bahwa selain terdapat situs-situs bersejarah peninggalan kerajaan-kerajaan Melayu, juga mempunyai situs peninggalan pra-sejarah, dimana situs ini (Bukit Kerang) merupakan situs peninggalan pra-sejarah tertua di Pulau Bintan yang sekarang sangat butuh perhatian lebih, tidak hanya dari lembaga pemerintah, tetapi juga dari lembaga non pemerintah. Penulis berharap, dengan dibuatnya karya tulis sejarah dengan topik ini, akan ada tindak lanjut yang lebih konkrit oleh seluruh badan terkait mengingat keadaannya yang sudah sangat memprihatinkan. Selain itu, diharapkan juga dapat membuat kita lebih mencintai dan akan timbul hasrat untuk menjaga serta aktif mempromosikan benda bersejarah yang telah diwariskan oleh nenek moyang kita.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun perumusan masalah dalam karya tulis ini adalah sebagai berikut:
1) Apa yang dimaksud dengan kjokkenmoddinger?
2) Bagaimana terbentuknya peninggalan bersejarah Bukit Kerang di Pulau Bintan?
3) Bagaimana keadaan Bukit Kerang pada saat ini?
4) Bagaimana upaya pemerintah dalam melestarikan Bukit Kerang di Pulau Bintan?
1.3 Tujuan penulisan
Adapun tujuan dari penulisan ini adalah:
1) Untuk mengikuti lomba penulisan sejarah lokal yang diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Tanjungpinang.
2) Untuk memberikan informasi mengenai peninggalan bersejarah di Kabupaten Bintan.
3) Untuk mengangkat salah satu peninggalan bersejarah di Kabupaten Bintan khususnya Bukit Kerang.
4) Untuk menumbuhkan kesadaran sejarah di kalangan para pelajar dan masyarakat.
5) Ikut melestarikan warisan sejarah dari zaman dahulu kala.
1.4 Manfaat penulisan
Adapun manfaat dari penulisan ini adalah:
1) Menambah pengetahuan dan wawasan kepada para pembaca mengenai aset sejarah yaitu Bukit Kerang.
2) Memberikan deskripsi tentang Bukit Kerang.
3) Agar para pelajar mengenal dan memahami arti penting terhadap peninggalan-peninggalan sejarah di tingkat lokal.
4) Agar pihak pemerintah peduli dengan peninggalan situs pra-sejarah dalam hal ini Bukit Kerang.
1.5 Metode penulisan
Metode penulisan merupakan cara kerja dalam memahami objek yang menjadi sasaran penelitian. Penulisan ini menggunakan metode kualitatif-analysis content, dimana mengutamakan mengambil data dari berbagai literature yang relevan dengan penelitian. Pengumpulan data dalam penulisan ini adalah dengan pengumpulan data pustaka, mengunjungi langsung serta wawancara dengan narasumber. Wawancara adalah tanya jawab kepada beberapa orang narasumber untuk memberikan informasi mengenai permasalahan yang terkait. Studi kepustakaan adalah meninjau pustaka untuk memperoleh data secara akurat sebagai bahan pembanding yang didapat dari maupun keterangan narasumber.
BAB II
GAMBARAN DAERAH PENELITIAN
2.1 Letak Geografis Kabupaten Bintan
Secara geografis, Kabupaten Bintan terletak antara 006’17” Lintang Utara – 1034’52” Lintang Utara dan 104012’47” Bujur Timur disebelah barat – 10802’27” Bujur Timur disebelah Timur. Daerah Kabupaten Bintan merupakan bagian dari paparan kontinental yang terkenal dengan nama “Paparan Sunda”. Pulau-pulau yang tersebar di daerah ini merupakan sisa-sisa erosi atau pencetusan daerah daratan pra tersier, wilayahnya membentang dari Semenanjung Malaysia dibagian Utara sampai Pulau Bangka dan Belitung di bagian Selatan. Luas wilayah kabupaten Bintan mencapai 88.038,54 km2, namun luas daratannya hanya 2,21 %, 1.946,13 km2 saja. Daerah Kabupaten Bintan berbatasan dengan:
Utara : Kabupaten Natuna
Selatan : Kabupaten Lingga
Barat : Kota Tanjungpinang dan Kota Batam
Timur : Provinsi Kalimantan Barat
2.2 Letak Geografis Kelurahan Kawal
Kabupaten Bintan dibagi menjadi beberapa Kecamatan. Kecamatan Gunung Kijang adalah salah satu dari Kecamatan yang ada. Kecamatan Gunung Kijang terbagi dalam beberapa Desa dan Kelurahan, salah satunya adalah Kelurahan Kawal. Luas Kelurahan Kawal adalah 548,12 km2 (Sumber : Kabupaten Dalam Angka, Tahun 2000) yang terdiri dari daratan, laut dan pantai. Kelurahan ini dilintasi sungai yang peranannya sangat vital bagi warga sekitar. Jumlah penduduk Kelurahan Kawal adalah 13.045 jiwa (Sumber : Kecamatan Dalam Angka, 1990 – 2000, Monografi Desa, 1990 – 2000) dengan mata pencaharian mayoritas warga adalah nelayan, pertanian, dan perkebunan. Perkebunan utamanya adalah karet dan kelapa. Sehingga tidak asing lagi di sepanjang jalan dan tepi pantai kita jumpai pohon kelapa dan pabrik pengolah minyak kelapa. Namun saat ini, sudah mulai dikembangkan perkebunan kelapa sawit. Di areal ini ditemukan peninggalan pra-sejarah yang biasa disebut masyarakat sekitar dengan Bukit Kerang yang menjadi objek penelitian dan penulisan ini.
BAB III
BUKIT KERANG ASET SEJARAH YANG TERABAIKAN
Terkait masalah yang telah penulis utarakan di atas, selanjutnya penulis akan mengenalkan dan memberikan informasi kepada para pembaca mengenai peninggalan pra-sejarah Bukit Kerang di Kabupaten Kawal, Provinsi Kepulauan Riau.
3.1 Pengertian Manusia Pra-sejarah
Pra-sejarah atau nirleka (nir: tidak ada, leka: tulisan) adalah istilah yang digunakan untuk merujuk kepada masa di mana catatan sejarah yang tertulis belum tersedia. Zaman pra-sejarah dapat dikatakan bermula pada saat terbentuknya alam semesta, namun umumnya digunakan untuk mengacu kepada masa di mana terdapat kehidupan di muka Bumi dimana manusia mulai hidup (www.wikipedia.com).
Manusia pra-sejarah atau pra-aksara adalah manusia yang hidup jauh sebelum tulisan ditemukan. Mereka hidup sederhana dalam kelompok-kelompok kecil. Alat-alat yang digunakan untuk keperluan sehari-hari masih sederhana. Karena belum ditemukannya peninggalan tertulis maka gambaran mengenai kehidupannya dapat diketahui melalui peninggalan-peninggalan tidak tertulis seperti fosil, relief dan alat-alat sederhana tersebut. Manusia prasejarah sering juga disebut sebagai manusia purba (www.edu2000.org).
3.2 Pengertian Kjokkenmoddinger
Ciri kebudayaan Mesolithikum tidak jauh berbeda dengan kebudayaan Palaeolithikum, tetapi pada masa Mesolithikum manusia yang hidup pada zaman tersebut sudah ada yang menetap sehingga kebudayaan Mesolithikum yang sangat menonjol dan sekaligus menjadi ciri dari zaman ini yang disebut dengan kebudayaan Kjokkenmoddinger dan Abris sous Roche.
Kjokkenmoddinger adalah istilah yang berasal dari bahasa Denmark yaitu kjokken artinya dapur dan modding artinya sampah. Jadi Kjokkenmoddinger dalam arti sebenarnya adalah sampah dapur. Dalam kenyataan Kjokkenmoddinger adalah timbunan atau tumpukan kulit kerang dan siput yang mencapai ketinggian ± 7 meter dan sudah membatu/menjadi fosil. Kjokkenmoddinger ditemukan disepanjang pantai timur Sumatera yakni antara Langsa dan Medan. Dari bekas-bekas penemuan tersebut menunjukkan bahwa manusia purba yang hidup pada zaman ini sudah menetap (www.bahan ajar2/sejarah/kebudayaan%prasejarah.com).
Tahun 1925 Dr. P.V. Van Stein Callenfels melakukan penelitian di Bukit Kerang tersebut dan hasilnya banyak menemukan kapak genggam yang ternyata berbeda dengan chopper (kapak genggam Palaeolithikum). Kapak genggam yang ditemukan di dalam Bukit Kerang tersebut dinamakan dengan pebble atau kapak Sumatera (Sumatralith) sesuai dengan lokasi penemuannya yaitu di Pulau Sumatera.
3.3 Penemuan Peninggalan Bersejarah Bukit Kerang
Kerang adalah sejenis hewan laut yang memang digemari oleh masyarakat untuk dikonsumsi. Lokasi penemuan tumpukan kerang itu berada di kawasan Kawal Darat, sebuah desa di tepi Pantai Trikora, sekitar 40 kilometer dari pusat kota Tanjungpinang. Secara administratif, kawasan ini masuk wilayah Kecamatan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan.
Kawal adalah kampung tua yang banyak menyimpan kisah masa lalu. Sekilas, tidak ada yang menarik dari tumpukan sampah kerang itu. Memang ada yang mengundang tanya, yakni mengapa kulit kerang dalam jumlah besar ditumpuk di suatu tempat hingga membentuk sebuah gundukan tanah. Berdasarkan informasi yang berhasil digali dari warga di kawasan Kawal, ada sisi lain yang menarik dari tumpukan kulit kerang itu. Masyarakat tersebut mengatakan bahwa pernah ada beberapa orang datang ke tempat tersebut. Mereka menginap dan seperti bersemedi. Tumpukan kerang itu bukan sekedar tempat yang memiliki aura mistis saja, melainkan juga sebuah jejak peninggalan sejarah yang nyaris terkubur seiring dengan berjalannya waktu. Tumpukan kerang itu dalam istilah sejarah dikenal dengan sebutan kjokkenmoddinger.
Nama atau istilah Bukit Kerang diambil dari gundukan tanah yang sebagian besar materialnya berasal dari cangkang kerang-kerangan. Kerang-kerangan ini merupakan sisa makanan manusia purba yang hidup pada masa mesolitikum atau masa perubahan antara zaman batu ke zaman perunggu sekitar 3000 tahun – 5000 tahun sebelum masehi.
Menurut hasil wawancara dengan Lurah Kawal Darat, Hazratul Izral, bahwa para arkeolog dari BP3 Batu Sangkar pernah menemukan fosil kapak genggam (pebble), atau lebih spesifik lagi adalah kapak sumatera (sumateralith). Hasil penemuan itu sempat beberapa bulan dibawa ke laboratorium.
Penemuan fosil kapak genggam ini kemudian akan memperkuat bukti sejarah di kawasan Kawal tersebut. Setidaknya bagi buku sejarah di Tanah Melayu, dapat ditambah satu bab lagi, yang khusus mengupas tentang kehidupan di rentang waktu pra-sejarah. Sebab, sejarah Bintan yang sampai ke masyarakat pada saat ini baru terlacak pada pendulum waktu sekitar 900 masehi sampai 1100 masehi, di mana pernah berdiri sebuah kerajaan di kaki Gunung Bintan. Dalam sejumlah buku sejarah, termasuk di antaranya “Hikayat Hang Tuah: Analisa Struktur dan Fungsi” yang ditulis oleh Guru Besar UGM Sulastin Sutrisno memang menguatkan bahwa di kaki gunung itu pernah berdiri sebuah kerajaan.
Lantas bila menilik lagi satu buku “Kota Kara dan Situs-Situs Sejarah Bintan Lama” yang ditulis oleh Aswandi Syahri, pada sekitar tahun 1512-1513 masehi di kaki Gunung Bintan, atau di kawasan yang dikenal sebagai Kota Kara, juga pernah menjadi pusat pemerintahan Sultan Mahmud. Jatuhnya Kota Melaka ke tangan Portugis pada 1511 membuat Sultan Mahmud dan rombongan menyingkir ke selatan. Diperkirakan, ia dan rombongan sampai ke Bintan setahun setelah Melaka jatuh. Kemudian Sultan Mahmud pun membangun basis pertahanan di sekitar kaki Gunung Bintan. Keberadaan bukti sejarah di kaki gunung itu juga kemudian dikuatkan oleh adanya sejumlah makam tua.
Bila melihat dari dua data di atas, artinya titik sejarah Bintan terjauh yang bisa ditarik adalah pada pendulum waktu sekitar 900 masehi. Sementara sebelum itu, semua masih merupakan sebuah teka-teki sejarah yang gelap. Lalu dengan penemuan bukit kerang di Kawal tersebut, maka bisa sedikit menguak jejak masa lalu manusia Bintan.
3.4 Kondisi Peninggalan Bersejarah Bukit Kerang
Bukit Kerang bisa jadi adalah tumpukan sampah dapur. Waktu itu, bisa jadi manusia purba memakan kerang sebagai santapan keseharian, mengingat sampai saat ini saja, kerang masih banyak ditemukan di bibir Pantai Trikora. Saat itu, menurut penelitian tim arkeolog, bisa jadi ada semacam kepercayaan mereka bahwa setelah memakan isinya, maka kulit kerang tak boleh dibuang sembarangan, melainkan harus ditumpuk di satu tempat. Selain itu, juga mungkin waktu itu ada konsepsi manusia prasejarah yang memandang kerang sebagai hewan suci, yang akan kualat bila membuang sembarangan.
Bukit Kerang yang ditemukan di kawasan Kawal itu sendiri memang tidak terlalu tinggi. Bentuknya tidak sampai menjadi bukit, melainkan hanya sebatas tumpukan kerang saja. Tingginya saat ini dari permukaan tanah sekitar 5 meter, atau 12 meter di atas permukan laut. Lebar gundukan Bukit Kerang mencapai 18 x 24 meter. Bisa jadi pada masa lalu, tinggi tumpukan kerang itu di atas 4 meter.
Namun karena berjalannya waktu, tinggi tumpukan kerang semakin berkurang. Apalagi di bagian tengah tumpukan kerang itu kini sudah ada lubang. Kemunculan lubang itu jauh terjadi sebelum para arkeolog melakukan penelitian. Diperkirakan warga setempat, ada orang yang menggalinya untuk keperluan mengambil benda tertentu. Warga kampung sekitar tempat tersebut sendiri sudah menemukan keberadaan Bukit Kerang sekitar tahun 1960-an, seiring pembukaan hutan menjadi kebun-kebun warga. Sebelumnya ada dua tumpukan kerang, namun yang satu kini sudah nyaris rata dengan tanah.
Dalam penelitiannya, tim arkeolog dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Batu Sangkar, selain menemukan gundukan kerang setinggi 4 meter, juga masih ada batu yang diduga sebagai kapak genggam manusia purba, dan satu lagi, serpihan tulang kepala manusia purba.
3.5 Jejak Pengembaraan Manusia Pra-sejarah Bintan
Para arkeolog menemukan bukti adanya kehidupan manusia pra-sejarah atau purba di situs tersebut. Manusia pra-sejarah di Bukit Kerang Kawal Darat ini diperkirakan hidup di zaman Mesolithikum (zaman batu pertengahan) atau sekitar 1500-1900 tahun sebelum masehi.
Manusia pra-sejarah di Bintan sudah menggunakan gerabah yang sudah ditera (dihias), meski hiasannya hanya berupa garis lurus-lurus pada gerabah. Seperti yang ditemukan di BKKD Bintan tersebut. Termasuk adanya kerang mutiara yang tengahnya berlubang. Ini merupakan bagian dari estetika pada masa tersebut. Mereka hidup berkelompok-kelompok, ada kemungkinan mereka tinggal di sekitar muara sungai, tepi sungai dan di pinggir laut. Melihat situs itu (jaraknya dari tepi pantai sekarang sekitar 4,7 kilometer) ada kemungkinan garis pantai Bintan Timur sudah mengalami perubahan (menurut Kepala Balai Arkeologi Medan, Lucas Partanda Koestoro DEA menjawab Batam Pos, Senin 16/2).
Menanggapi pertanyaan apakah manusia pra-sejarah di Kawal Darat Bintan ini punah, dikatakan bahwa tidak bisa punah. Sebab, mereka bisa saja bermigrasi ke tempat lain atau mungkin berkembang. Sedangkan mengenai pola kehidupannya, dijelaskan pada umumnya mereka hidup berkelompok-kelompok. Di situs Kawal Darat ini ada tiga situs Kjokkenmoddinger, yang masing-masing digunakan kelompok yang berbeda. Setiap kelompok beranggotakan sekitar 25 – 30 orang yang tinggal di rumah berbentuk panggung seperti yang ditemukan di Aceh.
Mereka mencari makan dengan berburu yang dilakukan oleh pria dewasa. Sedangkan, yang anak-anak, wanita dan orang tua mencari atau mengumpulkan makanan seperti kerang-kerangan serta umbi-umbian di sekitar tempat tinggal mereka. Itu sebabnya, tulang manusia yang biasanya ditemukan di dalam tumpukan Kjokkenmoddinger berasal dari anak-anak atau wanita. Dalam pra penelitian di Kjokkenmoddinger Kawal Darat ini belum ditemukan adanya tulang manusia. Satu hal lagi yang bisa ditarik dari penemuan situs bukit kerang di Kawal itu adalah pembuktian bahwa laut telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan orang-orang Bintan sejak sekitar 4000 tahun yang lalu.
3.6 Upaya Pemerintah dalam Melestarikan Bukit Kerang
Penemuan situs purbakala di Kawal tampaknya akan menjadi berkah tersendiri bagi warga Bintan. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Pemkab Bintan sudah merencanakan untuk menjadikan kawasan ini sebagai objek wisata baru di Bintan, melengkapi sejumlah objek lain yang sudah ada. Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Bintan menjelaskan saat ini Pemkab Bintan sudah berencana membebaskan lahan warga di sekitar lokasi penemuan situs purbakala tersebut. Selanjutnya wisata budaya ini nantinya akan disejalankan dengan wisata hutan bakau di Bintan. Apalagi di jarak tak sampai 10 km dari lokasi, Pemkab Bintan sudah merencanakan untuk membangun dermaga feri internasional di Tanjungberakit yang nantinya turis asing bisa masuk ke kawasan bukit kerang melalui dermaga feri yang akan membuka rute ke Singapura.
Terlepas dari potensi wisata yang tengah mengintai itu, penemuan situs bukit kerang di Kawal ini sekaligus menjadi sebuah pintu masuk untuk kajian sejarah lebih mendalam yang akan menjadi lokasi objek penelitian lanjutan para arkeolog Indonesia.
3.7 Makna Peninggalan Sejarah bagi Jati Diri
Terlepas dari kondisi fisiknya, peninggalan sejarah tersebut, bila dikaji secara seksama memiliki arti penting bagi masyarakat dan juga Pemerintah Daerah Pulau Bintan untuk lebih memahami jati dirinya. Dalam arti luas, jati diri bukan hanya mengacu pada awal keberadaan masyarakat, tetapi mencakup jati diri masyarakat dari generasi ke generasi yang menyangkut kiprah yang menunjukkan kepribadian dan budaya masyarakat yang bersangkutan.
Pada titik inilah, sejarah Bintan kemudian harus dipikirkan kembali. Apa kemudian makna dari penemuan situs pra-sejarah di Kawal itu. Satu di antaranya, tidak lain membuktikan bahwa kehidupan sudah bermula di Bintan pada sekitar 1900 tahun sebelum masehi. Bila ditambah dengan penanggalan masehi yang saat ini sudah memasuki angka tahun 2009, maka berarti kehidupan sudah bermula di Bintan pada hampir empat ribu tahun yang lampau. Angka ini bisa menjadi lebih panjang lagi, bila suatu saat kembali ditemukan situs pra-sejarah lagi di Bintan, yang usianya lebih tua dari Bukit Kerang di Kawal tersebut.
Serta dalam rentang waktu hampir 4000 tahun itulah, tentu banyak kisah yang sempat berlangsung. Dan itu semua menjadi bagian dari sejarah orang-orang Bintan. Seperti kata pepatah, tidak boleh kita melupakan sejarah, sebab sejarah itu adalah kunci untuk mengetahui jati diri kita. Bagi orang-orang Bintan, penelusuran terhadap sejarah yang mungkin masih banyak tersebar itu akan membuka sebuah kotak pandora, bahwa ada banyak sisi kehidupan yang telah luput dari catatan pena dan kertas. Membuka masa lalu orang-orang Bintan, berarti juga adalah proses untuk menemukan jati diri orang-orang Bintan itu sendiri.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan semua yang telah penulis utarakan di atas dapat disimpulkan bahwa:
· Pulau Bintan memiliki aset peninggalan bersejarah yang saat ini terabaikan.
· Keadaan Bukit Kerang di daerah Pulau Bintan saat ini dapat dikatakan memprihatinkan.
· Ekskavasi yang dilakukan di lokasi Kawal Darat menemukan sejumlah bukti arkeologi, bahwa di BKKD itu sudah ada kehidupan manusia pra-sejarah sekitar zaman Mesolithikum (zaman batu pertengahan) atau sekitar 3000 – 5000 tahun sebelum Masehi.
· Diperkirakan sudah ada penghuni Pulau Bintan pada kurun 4000 tahun yang lampau.
· Keadaan Bukit Kerang pada saat ini menunjukkan masih minimnya perhatian pemerintah dan kesadaran masyarakat sekitarnya untuk menjaga peninggalan bersejarah ini.
4.2 Saran
· Peninggalan Bukit Kerang di Kawal ini adalah bukti sejarah yang tak terbantahkan untuk diambil pelajaran bahwa laut sudah digunakan untuk kehidupan sejak zaman pra-sejarah. Harusnya kita bisa mulai mengoptimalkan menggunakan sumber daya laut untuk meningkatkan kehidupan.
· Pemerintah seharusnya melakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui lebih jauh sisi lainnya dari peninggalan tersebut dan mengupayakan konservasi terhadap peninggalan bersejarah yang hampir hilang ini.
· Masyarakat dan pemerintah bekerja sama dalam menjaga peninggalan ini baik dengan cara meningkatkan kesadaran dan kepedulian terhadap peninggalan ini melalui penyuluhan maupun dengan menjadikan daerah peninggalan tersebut sebagai wilayah konservasi.
0 komentar:
Posting Komentar